Pengelolaan Sumberdaya Pesisir berbasis komoditas lokal

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS KOMODITAS LOKAL

Sebagaimana telah diamanatkan oleh Deklarasi Rio dan Agenda 21, pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.

Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas ini bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak dahulu, komunitas lokal di Indonesia memiliki suatu mekanisme dan aturan yang melembaga sebagai aturan yang hidup di masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya sumberdaya kelautan. Hukum tidak tertulis ini tidak saja mengatur mengenai aspek ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya kelautan, namun juga mencakup aspek pelestarian lingkungan dan penyelesaian sengketa(Weinstock 1983; Dove 1986, 1990, 1993; Ellen 1985; Thorburn 2000).

Namun demikian, sejak dicapainya kemerdekaan Indonesia, kecenderungan yang terjadi adalah sentralisasi kekuasaan. Sejak orde lama sampai berakhirnya orde baru, pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.

Setelah reformasi tahun 1998, roda pelaksanaan desentralisasi mulai bergulir berlandaskan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pada tahun 2001. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diberlakukan untuk mengatur pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

Pelaksanaan desentralisasi mempunyai dua efek yang sangat berlawanan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan tergantung dari pendekatan dan penerapannya. Desentralisasi akan mengarah pada over eksploitasi dan kerusakan tanpa adanya pendekatan yang baik, namun sebaliknya dapat memaksimalkan potensi sumberdaya kelautan dengan tetap mengindahkan aspek kelestarian dan kelangsungan. prasyarat diperlukan demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal.

Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan terdapatnya akuntabilitas otoritas lokal merupakan prasyarat utama demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi (Ribbot 2002).

Prasyarat pertama yaitu terdapatnya kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya kelautan. Kewenangan ini terdapat dalam bentuk kekuatan hukum dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan. Ketentuan hukum ini merupakan dasar yuridis yang kuat bagi pemerintah daerah dan komunitas lokal untuk mengupayakan pengelolaan yang disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi lokal. Terlebih perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan tersebut berbentuk Undang-Undang yang menurut hirarki perundang-undangan di Indonesia berdasar UU No. 10 Tahun 2004 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi setelah UUD 1945. Sehingga kekhawatiran akan dibatasinya kewenangan daerah berdasar Peraturan Pemerintah tidaklah beralasan.

Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan ini ada pada wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai terluar bagi pemerintah daerah provinsi dan 1/3 dari wilayah laut kewenangan pemerintah daerah provinsi bagi pemerintah kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.

Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini tidak berlaku bagi penangkapan ikan oleh nelayan kecil dalam arti bahwa kewenangan yang diberikan kepada tiap daerah tidak akan membatasi usaha nelayan kecil dalam mencari penghidupan. Ketentuan ini diharapkan dapat menghilangkan praktek-praktek pelarangan bagi nelayan kecil memasuki dan menangkap ikan di wilayah laut daerah tertentu seperti yang terjadi pada awal pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

Prasyarat kedua adalah akuntabilitas otoritas lokal terhadap komunitas lokal. Akuntabilitas dari otoritas lokal memegang peranan penting dalam hal ini. Tidak ada otoritas lokal yang mempunyai akuntabilitas yang sempurna, namun demikian akuntabilitas yang kuat dari otoritas lokal merupakan prasyarat keberhasilan pengelolaan sumberdaya kelautan yang berintikan komunitas lokal.

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih memihak pada kepentingan partai politiknya dan melupakan konstituennya, sementara itu kepala daerah baik gubernur maupun bupati lebih memperhatikan kepentingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga yang memilihnya daripada aspirasi komunitas lokal, yang terjadi adalah munculnya elit lokal yang melupakan masyarakatnya. Akibat yang terjadi terhadap pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya kelautan adalah Praktek ini terjadi pada pelaksanaan desentralisasi berdasar UU No. 22 Tahun 1999 dimana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sistem pemilu bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih mendekatkan anggota DPRD kepada partai politiknya.

Akuntabilitas lokal mulai menguat setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Proses ini secara langsung mendekatkan kepala daerah kepada pemilihnya untuk menjamin terpilihnya ia kembali pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan titik terang dalam penguatan akuntabilitas otoritas lokal. Di tengah kritik-kritik terhadap UU No. 32 Tahun 2004 sebagai upaya re-sentralisasi pemerintah pusat, UU ini memiliki kekuatan utama penunjang keberhasilan pelaksanaan desentralisasi dan pengelolaan sumber daya kelautan berbasis komunitas lokal yaitu penguatan akuntabilitas pemerintah daerah.

Dengan dua pondasi utama dalam yaitu penyerahan kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan kepada pemerintah daerah dan terciptanya akuntabilitas otoritas lokal, pelaksanaan desentralisasi akan mendorong terwujudnya pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat di Indonesia.

Reference

Dove, M. (1986) “The practical reason for weeds in Indonesia: peasant vs. state views of Im-perata and Chromolaena,” Human Ecology 14(2): 163-90.

–, ed. (1990) The real and imagined role of culture in development: case studies from Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.

– (1993) “Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical rainforest,” Economic Botany 47(2): 136-47.

Ellen, R.F. (1985) Patterns of indigenous timber extraction from Moluccan rain forest fringes. Journal of Biogeography (12): 559-87.

Ribbot, Jesse C. (2002) Democratic Decentralization of Natural Resources: Institutionalizaing Popular Participation. World Resorces Intitute.

Thorburn, C.C. (2000) “Changing customary marine resource management practice and institutions: the case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia,” World Development 28(8): 1461-1480.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.

Ditulis dalam Decentralization, Public Policy

http://sumberdayakelautandanperikanan.blogspot.com/2011/07/desentralisasi-menuju-pengelolaan.html

Tinggalkan komentar